Kamis, 26 April 2012

Tulisan_ Ketahanan Nasional


TULISAN

NARKOTIKA GANGGU KETAHANAN NASIONAL
Narkotika dinilai jauh lebih berbahaya dari ancaman terorisme internasional. Pejabat yang membekingi narkotika harus diusut terbuka.
Indonesia Masuk Sindikat Narkotika Dunia. Kesimpulan tersebut sungguh kurang elok kedengaran. Tetapi bagaimanapun, Indonesia sudah terpetakan dalam jaringan sindikat bandar narkotika dan obat-obatan berbahaya kelas internasional. Fakta akhir-akhir ini menunjukkan pabrik ekstasi di Cikande, Banten, atau di Batam, hingga Rutan dan Lapas yang merupakan penjara, dengan leluasa bisa memproduksi barang haram hingga mengedarkan ke jaringan dunia tanpa pernah terendus sejak dari awalnya.
Jumlah temuan barang bukti ekstasi yang siap edar sudah hitungan ratusan ribu hingga jutaan butir. Pelaku kriminal bidang ini pun bukan lagi dicirikan pria bertampang seram penuh tato dan brewok. Melainkan, oleh mereka yang berkerah putih sehari-hari berprofesi mulai sipir penjara, aparat penegak hukum, hingga selebriti yang gandrung diidolakan penggemarnya. Korban-korban pun berjatuhan mulai anak gedongan hingga manusia miskin tak beruang, atau mulai rakyat jelata hingga pengusaha, pejabat, dan kerabatnya.
Fakta lain, 60 persen narapidana penghuni Lapas di Jakarta (4.068 orang dari total 6.742 Napi), divonis bersalah terkait dengan pasal narkotika. Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menunjukkan, dari 116.000 penghuni Lapas di seluruh Indonesia, sekitar 30 persen di antaranya atau 32.000 adalah terkena pasal narkotika. Dari jumlah itu, sekitar 72,5 persen merupakan pencandu dan pemakai.
Fakta-fakta tersebut membuat Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta geram. Ketika berada di Surabaya, Rabu (21/11), Andi memerintahkan pimpinan Lapas dan Rutan se Indonesia aktif melakukan razia penggeledahan narkotika dua kali seminggu. Penelitian Universitas Indonesia di sepuluh kota besar Indonesia pada tahun 2004 menunjukkan, kebutuhan pemakai narkotika dalam satu bulan untuk ekstasi dan sejenisnya sebanyak 1,7 ton, dan untuk kokain dan sejenisnya sebanyak 0,5 ton.
Nyatanya, memang, Indonesia adalah produsen ekstasi terbesar di dunia setingkat dengan negara maju Belanda, Jerman, dan India. Berbisnis haram narkotika begitu “menarik” di Indonesia sebab omset per tahunnya mencapai Rp 23 triliun, hampir separuh anggaran tahunan Depdiknas, sedikit di atas anggaran Dephan yang 21,977 triliun, tetapi jauh lebih besar dari anggaran DKP yang hanya Rp 3,31 triliun.
Berbisnis narkotika secara “legal” di Indonesia “dimungkinkan” sebab prekursor sebagai bahan kimia yang menjadi bahan baku shabu dan ekstasi, penggunaannya hanya diatur dengan keputusan menteri dan belum ada hukuman penjara yang setimpal untuk penyalahgunaannya. Sindikat narkotika semakin mencengkeram Indonesia ketika krisis multidimensi melanda. Makna narkotika yang sebelumnya dipersepsikan sebagai benda berbahaya, sehingga harus dihindari, mengalami perubahan pencitraan.
Dimulai dengan menghaluskan penggunaan kata narkotika menjadi narkoba, yang kedengaran enak di telinga tetapi efeknya luar biasa berbahaya dan sangat merusak. Bahkan, sudah sangat mengganggu ketahanan nasional. Kampanye hari anti narkotika internasional yang jatuh setiap tanggal 26 Juni, pada hakekatnya justru merupakan “kampanye” yang semakin mendekatkan barang haram ini kepada pengguna dan calon-calon pengguna. Narkoba menjadi benda yang “boleh” diakrabi karena namanya sangat “familiar”. Penggiat anti narkoba yang rutin melaksanakan seremoni, justru diragukan ketulusannya memerangi narkotika.
Penghalusan penggunaan nama narkoba bagaimanapun telah membuat korban merasa tak berdosa jika sehari-hari menggunakan narkotika. Karena “keakraban” itu pulalah kenaikan jumlah korban narkotika menjadi sangat paralel dengan kenaikan jumlah penderita HIV/AIDS. Sebab setiap kali pengguna dan bandar narkotika berkumpul, mereka cenderung menggunakan jarum suntik yang sama. Jangan heran apabila Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) DKI Jakarta, yang diketuai Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, sejak awal Desember 2007 sudah menetapkan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) sebagai tempat penanganan berbagai masalah narkotika untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS melalui jarum suntik.
Di Indonesia sekitar 15.000 jiwa melayang setiap tahun karena narkotika. Ancaman “wabah” narkotika menjadi jauh lebih berbahaya dari terorisme internasional. Selain berpotensi menghilangkan nyawa warga dalam jumlah besar, kecanduan narkotika pasti membuat penderita kehilangan orientasi dan jati diri. Secara medis dan psikis, kehilangan orientasi diri itu tak akan pernah bisa kembali pulih ke kesadaran semula. Sehingga semuanya akan berakumulasi kepada terbentuknya sebuah bangsa yang dihuni oleh banyak warga yang sama-sama berpenyakit demikian.

Peta Jaringan
Setelah Selasa (13/11) polisi menangkap bintang film era 1970-an Roy Marten, dalam kasus narkoba, penangkapan terbaru terjadi terhadap artis gaek Ahmad Albar juga Selasa (27/11) oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Mabes Polri. Penangkapan rocker personel grup band ternama God Bless yang biasa disapa Iyek terkait dengan temuan 490 ribu butir pil ekstasi senilai Rp 50 miliar di Kamar 19-A Apartemen Taman Anggrek, Tomang, Jakarta Barat Jumat (23/11) itu mencelikkan mata bahwa sindikat memiliki beragam cara mendekati konsumen. Temuan ini adalah pengiriman kedua dari rencana paket kiriman 1 juta ekstasi dari Belanda , setelah sebelumnya pengiriman pertama berhasil.
Walau belum tentu terlibat betul, sebab kasusnya masih dalam proses penyidikan, posisi Iyek yang “salah” sebab menawarkan tumpangan rumah kepada Cece, istri dari Monas tersangka bandar ekstasi dunia yang ditangkap dalam penggerebekan Apartemen Taman Anggrek, membuktikan kuatnya cengkeraman pelaku kriminal dalam memengaruhi berbagai pihak. Termasuk “mengelabui” aparat Bea dan Cukai Tanjung Priok untuk meloloskan masuk butiran pil ekstasi setelah dicampurkan dengan butiran jagung. Kata seorang tersangka Lim Jet Wee, 41,warga negara Malaysia, dia menyuap Rp100 juta kepada petugas Bea Cukai untuk meloloskan “jagungnya”.
Direktur IV Narkoba Mabes Polri, Brigadir Jenderal Polisi Indradi Thanos, mengatakan, Cece yang berada di rumah Iyek berperan sebagai perantara penjual dari warga Malaysia ke pengedar di Jakarta. Jaringan sindikat ini dipimpin oleh Albert alias Steven Law warga Malaysia. Steven mengirim dan mendatangkan ekstasi dari Belanda ke Indonesia. Selama di Jakarta Steven dibantu Cheong Mun Yau dan Diong Chee Meng. Sementara dua nama lain Lim Jit Wee dan Cua Lik Chang alias Asop bertugas memasarkan ekstasi ke sejumlah bandar. Sindikat ini juga dibantu oleh tiga orang Indonesia, Lim Pik Kiong, Monas, dan Thio Bok An.
Ketiga orang itu mengedarkan ekstasi ke sejumlah pengguna. Sindikat mereka sebelumnya sudah membebaskan enam anggotanya yang sempat ditahan di India. Keenam warga Cina itu kini berada di Thailand, dan sudah merencanakan akan masuk ke Indonesia untuk mendirikan pabrik shabu. Kabarnya, mereka telah menyelundupkan sekitar 10 juta pil ekstasi ke Indonesia dengan kapal laut dari Belanda dengan dua kali pengiriman.
Diduga masih satu jaringan dengan mereka, jajaran Kepolisian KP3 Tanjungpriok juga menyita 410 ribu butir ekstasi senilai Rp 41 miliar terbagi dalam beberapa kantong plastik, dari seorang bandar berkewarganegaraan Malaysia, Ong Seng Chye, di rumah kontrakan tersangka di Jalan Janur Elok Blok QG1, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Liem Marita alias Aling, 39 tahun, pada bulan Januari 2006 menjadi tersangka pemilik 57 ribu butir ekstasi senilai Rp 5,7 miliar setelah polisi menangkapnya di lantai 12 Apartemen Artha Gading, Kelapa Gading Square, Jakarta. Janda beranak satu dan dikenal pemakai berat jenis narkotika ini, juga diindikasikan merupakan anggota sindikat jaringan nternasional.
AKBP Sugeng Ingat Rikolo, Kasat III Direktorat Narkotika dan Obat-obatan Berbahaya, Polda Metro Jaya, mengatakan, Aling yang mantan bandar shabu-shabu sering berpindah tempat dan biasa tinggal di apartemen mewah, hasil penjualan ekstasi yang beromset miliaran. Liem yang mendapat pasokan dari seseorang asal Hongkong hanya melayani pembelian minimal 1.000 butir seharga Rp 35 jutaan.
Dari Kawasan Industri Pungkur, Kabil, Batam, Kepulauan Riau dikabarkan menemukan 29 drum atau 1.160 kilogram bahan utama pembuatan shabu-shabu. Inspektur Jenderal Polisi Sisno Adiwinoto, Kepala Divisi Humas Mabes Polri, meyakini temuan itu masih milik satu jaringan sindikat narkotika internasional, dan terkait pula dengan temuan polisi di empat lokasi di Batam, dan satu lokasi di Pluit, Jakarta Utara yang dibongkar berdekatan waktunya. Sisno mengatakan ada orang kuat yang berada di belakang sindikat narkotika internasional ini.
Sebuah jaringan pengekspor sabu-sabu berbasis di Hong Kong, pada Selasa (29/8) tahun 2006 lalu juga berhasil dibongkar jajaran kepolisian berikut barang bukti berupa shabu-shabu seberat 966 kilogram senilai Rp 600 miliar. Pembongkaran sindikat internasional ini dilakukan di kawasan Teluk Naga, Tangerang, Banten. Dari pemeriksaan tujuh orang tersangka diketahui, mereka, dalam menjalankan bisnis ilegalnya berkedok usaha ekspor terumbu karang.
Berbicara ketika pengungkapan terjadi, Kapolri Jenderal Pol Sutanto ketika itu memastikan kasus shabu-shabu yang disita meyakinkan kita bahwa Indonesia menjadi tempat bisnis narkotika yang menjanjikan dan menggiurkan bagi sindikat internasional. Sebelumnya lagi, pada 2 Februari 2006 digerebek shabu-shabu seberat 200 kg di Apartemen Pantai Mutiara, Pluit, Jakarta Utara, dan pada Januari 2006 dibongkar sindikat narkotika yang menyelundupkan 57 ribu butir ekstasi. Kedua sindikat ini diduga juga berasal dari Hongkong.
Lalu pada 11 November 2005 atas kerjasama berbabagi institusi, berhasil dibongkar pabrik ekstasi di Jalan Cikande, Desa Cemplang, Kecamatan Jawilan, Serang, Banten. Pabrik yang berdiri di atas tanah seluas empat hektar ini mampu menghasilkan shabu-shabu 148 kg/hari. Pabrik terbesar ketiga dunia ini bisa memproduksi 1 juta butir pil ekstasi per hari, dengan omzet Rp 100 miliar per minggu, atau Rp 4,8 triliun pertahun.
Ketika penggerebekan terjadi muncul opini yang menguatkan posisi sindikat narkotika di Indonesia sudah ke taraf memproduksi barang terlarang, bukan lagi sekadar mengedarkan.

Indonesia Lemah
Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Erlangga Masdiana, Adrianus Meliala, dan Ronny Nitibaskara, sama-sama sependapat, kerapuhan di birokrasi termasuk di lembaga penegak hukum, menjadikan Indonesia dianggap sangat cocok sebagai salah satu lokasi industri narkotika internasional. Dengan kesadaran penuh sindikat narkotika internasional memanfaatkan berbagai institusi formal negara yang mudah “dibeli”.
“Dalam memenuhi kebutuhan dunia akan narkoba, sindikat narkoba internasional memisahkan tempat-tempat untuk kultivasi dan produksi. Untuk itu, mereka mencari tempat yang dikategorikan sebagai soft state,” kata Adrianus kepada Kompas.
Menurut Adrianus, yang dimaksud soft state adalah negara-negara yang pemerintahannya lemah, aparat penegak hukum dan birokrasinya mudah “ditembus”, dan administrasi kependudukannya kacau. Dalam hal ini, Indonesia memenuhi seluruh persyaratan sebagai soft state.
Ronny Nitibaskara dalam bukunya Ketika Kejahatan Berdaulat, menduga kuat, di Indonesia telah hidup jaringan sindikat narkoba yang sangat sistematis, yang menyerupai organisasi kejahatan yang selama ini dikenal di berbagai negara, seperti Mafia Sisilia, Triad China, Yakuza Jepang, atau kartel-kartel di Kolombia.
Organisasi kejahatan itu juga dijalankan oleh warga negara Indonesia yang menjadi kepanjangan dan binaan organisasi tersebut yang bermarkas besar di negara lain. Transnasionalisasi organisasi kejahatan itu “didukung” juga oleh perdagangan bebas, sistem keuangan global, kemudahan transportasi, dan teknologi komunikasi

SUMBER: GOOGLE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar